Infinity (Prolog)
Sep. 5th, 2011 12:22 am![[personal profile]](https://www.dreamwidth.org/img/silk/identity/user.png)
Halo... Halo...
Hideko kembali publish tulisan. :D
Seperti yang dijelasin di teaser beberapa minggu lalu, FF baru ini judulnya Infinity. Sudah ditulis sekitar 8 chapter, tapi masih belum yakin apakah berhasil tamat atau enggak. *ditabokin rame2* xDD
Anyway, Selamat menikmati...
Oh iya, ini FF pertama Hideko yang genrenya AU lho.. Mudah2an suka ya... Ihiyyyy~ :D

Judul : Infinity
Penulis : Hideko Ikuta
Pairing : SakurAiba (main), TomaPi (side), Guest : Ohno, Jun & Nino
Rating : G to NC-21
Genre : AU, Romance, BL, Yaoi
Aiba Masaki kini berdiri di sebuah ujung jembatan perbatasan kedua kerajaan. Beberapa bulan yang lalu, ia yakin melewati jembatan yang sama, tetapi kini semuanya sudah berubah. Tak ada lagi jembatan kayu panjang yang menghubungkan kedua negeri itu dan tak ada lagi suatu landasan tanpa dasar di sana.
Kini di bawah jembatan itu terdapat sungai deras dengan air berwarna biru yang cukup tinggi untuk menenggelamkannya, melumatnya hingga tak tersisa lagi. Beberapa bulan lalu, mungkin ia menginginkan hal ini terjadi. Tetapi, perasaannya sudah berubah hari ini. Ia sungguh tak ingin melepaskan semuanya meskipun ia harus melakukannya.
“pulanglah... Kembalilah ke duniamu sekarang atau kau tak akan bisa kembali lagi...” kata seseorang di depan Aiba.
“aku tidak mau!” kata Aiba menggeleng yakin, air mata sudah menggenangi matanya.
“pulanglah... Tempatmu bukan di sini...” kata orang itu sambil melangkah maju, membuat posisi Aiba semakin terpojok dan nyaris menyentuh air sungai yang menggeliat kencang karena terpaan angin kencang.
“ku mohon, jangan biarkan aku pergi! Ku mohon...” kata Aiba sambil memeluk erat seseorang di depannya.
Beberapa bulan yang lalu....
“kita pasti akan bertemu… aku akan selalu menunggumu…” kata-kata itu terdengar jelas di telinga Aiba Masaki sebelum akhirnya…
BRUUUK…
Aiba secara tak sengaja terjatuh dari tempat tidurnya.
Aiba terbangun dari tidurnya dengan nafas terengah. Ia ingat tadi dalam mimpinya ia melihat sepasang mata yang memandangnya begitu lekat dan membuat jantungnya berdegak kencang. Aiba menghapus keringat yang membasahi dahi dan lehernya sambil mencoba mengingat-ingat siapa orang yang tadi memandanginya di dalam mimpi tetapi ia tetap tak dapat mengingat apapun.
“tadi itu siapa?” gumam Aiba sembari berpikir keras tapi tak juga menemukan jawaban yang ia cari. Baru kali ini ia bermimpi hal yang begitu aneh, ia tak ingat rangkaian mimpinya tetapi ia ingat ada seorang pria yang memandanginya dan mengatakan sesuatu.
“orang itu menungguku?” tanya Aiba dalam hati sebelum beberapa saat kemudian lamunannya sekejap terlupakan karena bunyi ponselnya.
“boss?” tanya Aiba begitu melihat ponselnya.
“moshi-mos…” kata Aiba tapi belum sempat ia selesaikan karena terputus dengan bentakan dari seberang telepon.
“Aibaaaaa!!! Kemana kau?? Seharusnya sudah dua jam yang lalu kau sampai kantor!!!” teriak suara di dalam telepon.
“eh? YABAI~!!” teriak Aiba begitu melihat jam kamarnya yang menunjukkan pukul sepuluh siang. Ia sudah dapat membayangkan bagaimana marahnya atasannya itu akibat keteledorannya pagi ini yang bangun kesiangan.
Perkiraan Aiba ternyata tidak salah sama sekali, selain diberi surat peringatan pertama, Aiba juga dimaki habis-habisan oleh atasannya.
“besok akan ada tamu dari kantor pusat, berani terlambat lagi, ku pecat kau detik itu juga!” kata Satoshi, atasan Aiba yang sudah tua dan suka sekali marah-marah pada Aiba itu.
“hai’… wakarimashita” jawab Aiba sembari membungkuk-bungkuk.
Sebenarnya sudah lama sekali Aiba tidak suka dengan pekerjaannya yang ia rasa terlalu monoton dan terus menerus mengharuskannya bangun pagi padahal ia susah sekali bangun pagi. Keberadaan dari Satoshi Ohno, atasan Aiba yang entah mengapa suka sekali memarahinya, membuat keadaan menjadi terasa lebih buruk bagi Aiba.
Aiba selalu berharap dapat keluar dari situasi ini, berharap mendapatkan pekerjaan yang lebih menantang dan menarik. Berharap tidak perlu lagi bertemu dengan Ohno seumur hidupnya. Dan berharap dapat mendapatkan hidup yang layak tanpa harus dituntut untuk bangun pagi setiap hari.
Petang itu, Aiba pulang kantor dengan agak lemas. Tadi siang ia tidak diberi kesempatan untuk istirahat makan siang karena ia datang terlambat ke kantor dan harus menyelesaikan beberapa pekerjaannya yang jadi terbengkalai. Karena itu, sekarang sebelum pulang, Aiba menyempatkan diri pergi ke sebuah restoran pinggir jalan untuk membeli dua kotak bento. Satu untuk sore ini dan satu lagi untuk nanti malam, karena pasti ia akan kelaparan lagi.
Di tengah jalan menuju pulang, Aiba menyempatkan diri untuk merenung di atas sebuah jembatan, mencoba menyegarkan pikirannya yang penat karena kerja seharian sembari meratapi hidupnya yang entah mengapa selalu saja merasa kesepian karena tidak pernah berhasil mendapatkan kekasih meskipun umurnya sudah lebih dari seperempat abad.
Ia duduk di sebuah kursi di dekat jembatan, lalu mulai membuka bento yang ia beli.
“mungkin enak ya… Bisa menghabiskan merasakan hidup di alam yang bebas dan bahagia bersama orang yang kau cintai… haaaaaahhh…” gumam Aiba pelan sembari menerawang memandang kosong makanan yang ada di bento yang ia pangku.
Aiba tersadar dari lamunannya ketika ia merasakan kursinya sedikit bergerak. Rupanya baru saja ada orang yang duduk di sebelahnya. Seorang kakek tua berpakaian lusuh, terlihat agak pucat dengan kedua tangan memegangi perutnya. Entah mengapa, karena merasa iba dengan keadaan kakek itu, Aiba tergelitik untuk bertanya.
“Kakek, apa anda tidak apa-apa?” tanya Aiba sambil memandang ramah pria tua berbaju putih kecokelatan di sampingnya.
“Apa aku boleh minta sisa makananmu, anak muda?” kata sang Kakek sambil memandangi bento yang dipangku Aiba.
“eh?” Aiba bingung karena mendapat pertanyaan yang tiba-tiba seperti itu.
“aku lapar, sudah beberapa hari tidak makan” kata sang Kakek sembari memegangi perutnya sendiri, membuat Aiba menjadi mengerti penyebab sang Kakek terlihat begitu pucat.
“astaga… Kakek, sudah beberapa hari tidak makan? Uhm… Ini, silahkan ambil bentoku yang baru saja… Jangan makan sisa makananku” kata Aiba dengan tanpa ragu menyodorkan sekotak bento baru yang rencananya akan ia jadikan makan malamnya.
“ini… Untuk saya, anak muda?” tanya sang Kakek, sedikit tidak percaya.
“un~ Makanlah... Itu untuk Kakek” kata Aiba sambil tersenyum.
“arigatouuuu… Kau anak muda yang baik sekali…” kata sang Kakek sembari menepuk pundak Aiba lalu mulai membuka bento yang baru diberikan Aiba dan sesaat kemudian memakannya dengan lahap.
Aiba memandang Kakek itu dengan senyuman, terasa ada rasa syukur di hatinya melihat hal itu. Walaupun ia tidak memiliki pekerjaan yang bagus dan memiliki atasan yang menyebalkan, tapi ia bersyukur bahwa ternyata ia lebih beruntung daripada Kakek yang ada di hadapannya ini. Setidaknya, seburuk-buruk nasibnya sekarang, ia masih punya cukup uang untuk kebutuhan hidupnya sehari-hari. Aiba memperhatikan sang Kakek sembari menyelesaikan makannya dan menunggu baru berpamitan setelah melihat sang Kakek selesai makan…
“baiklah, Kakek… Saya permisi dulu…” kata Aiba yang kemudian berdiri dari tempat duduknya, bermaksud pergi meninggalkan tempat itu.
“tunggu sebentar, anak muda!” kata sang Kakek sambil meraih pergelangan tangan Aiba, membuat Aiba terduduk lagi.
“iya?” tanya Aiba, memandangi sang Kakek dengan kedua matanya yang polos sambil tersenyum ramah.
Sang Kakek terlihat meletakkan kotak bento di bagian kursi kosong yang ada di belakangnya, lalu mulai mengorek-ngorek kantung celananya. Tak lama kemudian, Aiba dapat melihat sebuah kalung, berbahan entah platina atau emas putih, diletakkan oleh sang Kakek di telapak tangan Aiba.
“eh? Maaf, ini apa ya?” tanya Aiba dengan pandangan mata ke arah kalung berbandul berbentuk lonjong dengan lubang ditengahnya.
“infinity…” kata sang Kakek.
“apa?” tanya Aiba bingung.
“kau akan mengerti nanti, ketika menemukan pasangan dari kalung ini, anak muda…” kata sang Kakek yang kemudian berdiri.
“pasangan dari kalung ini? Jadi, yang seperti ini ada dua?” tanya Aiba yang dijawab oleh sang Kakek dengan anggukan.
“iya, dan ada satu orang di luar sana yang juga memakai kalung seperti ini. Dia adalah pasangan hidupmu” kata sang Kakek.
“benarkah? Wow..!” seru Aiba bersemangat.
“pakailah kalung ini, suatu saat, kau akan menemukan seseorang yang akan menjadi teman hidupmu dan membahagiakanmu, selamanya!” kata sang Kakek yakin sembari berdiri dari tempat duduknya lalu memakaikan kalung itu di leher Aiba.
“Waaahhh… terima kasih banyak, Kakek…” kata Aiba sembari memandangi bandul kalungnya yang terlihat berkilauan.
“jaga dirimu baik-baik anak muda...” kata sang Kakek sambil menepuk pundak Aiba dengan senyuman diwajahnya.
“jaga diri? Un~ terima kasih, Kakek...” jawab Aiba dengan ekspresi agak bingung tetapi kemudian ia hanya tersenyum ramah dan kembali memandangi kalungnya.
“eh, tapi… Kakek… Kira-kira aku bisa menemukan pasangan kalung ini dimana ya?” tanya Aiba tapi tak ada jawaban.
“Kakek?”
Aiba kemudian mengalihkan pandangannya dari kalung untuk melihat sang Kakek lagi, namun ternyata sang Kakek sudah tak terlihat lagi. Sang Kakek menghilang dalam sekejap, membuat Aiba menjadi terkejut.
“Eh? hilang? Uwah.... Hantu-kah? Ahh… Muri-muri… Kalung ini nyata! Kakek tadi pasti hanya sudah pergi... Iya, khan? Yah, baiklah, terima kasih Kakek...” gumam Aiba berusaha berpikir positif, sembari memegangi kalung yang melingkar di lehernya.
Malam itu di rumah Aiba…
Suasana terasa begitu dingin karena hujan deras mulai turun tak lama setelah Aiba sampai di rumahnya. Kini sudah beberapa jam sejak hujan mulai turun dan tetapi hingga detik ini petir masih menyambar-nyambar, membuat listrik rumah Aiba padam dan membuat Aiba praktis tak dapat melakukan apa-apa selain meringkuk di tempat tidurnya sambil meminum segelas minuman sereal, di bawah selimut tebal sembari memandangi lilin yang menyala dihadapannya.
Ia sungguh sudah begitu kelaparan tetapi sayangnya tak ada makanan yang bisa ia makan karena tadi ia memberikan bentonya pada kakek tua. Ia juga tidak dapat keluar rumah untuk membeli makanan, karena hujan masih begitu deras.
Inilah resiko hidup sendirian. Sejak kecil Aiba tak pernah mengenal orang tuanya karena mereka meninggal sebelum Aiba cukup dewasa untuk mengenal mereka. Aiba tumbuh besar dalam asuhan neneknya dan baru beberapa tahun lalu neneknya meninggalkannya untuk selama-lamanya, karena itu, praktis sejak lima tahun yang lalu, Aiba harus berjuang untuk bertahan hidup.
“Hujan... Cepatlah berhenti... Aku lapaaaaaaaarrr… Huhuhuhu…” kata Aiba sembari menyeruput minuman serealnya.
BLLLAAARRRR!!
Sebuah petir yang sangat besar terdengar menyambar sesuatu, membuat Aiba sedikit terperanjat kaget. Tapi entah mengapa setelah itu, hujan jadi berangsur-angsur berhenti dan listrik rumah Aiba langsung menyala lagi.
“Eh? Yokattaaaaaa~” kata Aiba buru-buru bangun dari tempat tidurnya lalu mengambil baju hangatnya untuk segera keluar rumah mencari makan malam.
DUG!
Aiba merasakan pintu rumahnya terganjal sesuatu ketika ia ingin membukanya.
“huh?” tanya Aiba bingung.
Aiba kemudian berusaha mendorong pintu rumahnya pelan-pelan agar dapat terbuka dan mendorong suatu yang mengganjal pintu rumahnya itu.
“EEEEHHHH??!!” kata Aiba setengah berteriak begitu berhasil keluar dari rumahnya dan melihat bahwa sesuatu yang mengganjal pintu masuk rumahnya itu adalah sebuah tubuh seseorang. Seorang pria yang basah kuyup dan berjubah hitam sedang pingsan di depan pintu rumahnya. Hah? Berjubah hitam??
Hideko kembali publish tulisan. :D
Seperti yang dijelasin di teaser beberapa minggu lalu, FF baru ini judulnya Infinity. Sudah ditulis sekitar 8 chapter, tapi masih belum yakin apakah berhasil tamat atau enggak. *ditabokin rame2* xDD
Anyway, Selamat menikmati...
Oh iya, ini FF pertama Hideko yang genrenya AU lho.. Mudah2an suka ya... Ihiyyyy~ :D

Judul : Infinity
Penulis : Hideko Ikuta
Pairing : SakurAiba (main), TomaPi (side), Guest : Ohno, Jun & Nino
Rating : G to NC-21
Genre : AU, Romance, BL, Yaoi
Aiba Masaki kini berdiri di sebuah ujung jembatan perbatasan kedua kerajaan. Beberapa bulan yang lalu, ia yakin melewati jembatan yang sama, tetapi kini semuanya sudah berubah. Tak ada lagi jembatan kayu panjang yang menghubungkan kedua negeri itu dan tak ada lagi suatu landasan tanpa dasar di sana.
Kini di bawah jembatan itu terdapat sungai deras dengan air berwarna biru yang cukup tinggi untuk menenggelamkannya, melumatnya hingga tak tersisa lagi. Beberapa bulan lalu, mungkin ia menginginkan hal ini terjadi. Tetapi, perasaannya sudah berubah hari ini. Ia sungguh tak ingin melepaskan semuanya meskipun ia harus melakukannya.
“pulanglah... Kembalilah ke duniamu sekarang atau kau tak akan bisa kembali lagi...” kata seseorang di depan Aiba.
“aku tidak mau!” kata Aiba menggeleng yakin, air mata sudah menggenangi matanya.
“pulanglah... Tempatmu bukan di sini...” kata orang itu sambil melangkah maju, membuat posisi Aiba semakin terpojok dan nyaris menyentuh air sungai yang menggeliat kencang karena terpaan angin kencang.
“ku mohon, jangan biarkan aku pergi! Ku mohon...” kata Aiba sambil memeluk erat seseorang di depannya.
Beberapa bulan yang lalu....
“kita pasti akan bertemu… aku akan selalu menunggumu…” kata-kata itu terdengar jelas di telinga Aiba Masaki sebelum akhirnya…
BRUUUK…
Aiba secara tak sengaja terjatuh dari tempat tidurnya.
Aiba terbangun dari tidurnya dengan nafas terengah. Ia ingat tadi dalam mimpinya ia melihat sepasang mata yang memandangnya begitu lekat dan membuat jantungnya berdegak kencang. Aiba menghapus keringat yang membasahi dahi dan lehernya sambil mencoba mengingat-ingat siapa orang yang tadi memandanginya di dalam mimpi tetapi ia tetap tak dapat mengingat apapun.
“tadi itu siapa?” gumam Aiba sembari berpikir keras tapi tak juga menemukan jawaban yang ia cari. Baru kali ini ia bermimpi hal yang begitu aneh, ia tak ingat rangkaian mimpinya tetapi ia ingat ada seorang pria yang memandanginya dan mengatakan sesuatu.
“orang itu menungguku?” tanya Aiba dalam hati sebelum beberapa saat kemudian lamunannya sekejap terlupakan karena bunyi ponselnya.
“boss?” tanya Aiba begitu melihat ponselnya.
“moshi-mos…” kata Aiba tapi belum sempat ia selesaikan karena terputus dengan bentakan dari seberang telepon.
“Aibaaaaa!!! Kemana kau?? Seharusnya sudah dua jam yang lalu kau sampai kantor!!!” teriak suara di dalam telepon.
“eh? YABAI~!!” teriak Aiba begitu melihat jam kamarnya yang menunjukkan pukul sepuluh siang. Ia sudah dapat membayangkan bagaimana marahnya atasannya itu akibat keteledorannya pagi ini yang bangun kesiangan.
Perkiraan Aiba ternyata tidak salah sama sekali, selain diberi surat peringatan pertama, Aiba juga dimaki habis-habisan oleh atasannya.
“besok akan ada tamu dari kantor pusat, berani terlambat lagi, ku pecat kau detik itu juga!” kata Satoshi, atasan Aiba yang sudah tua dan suka sekali marah-marah pada Aiba itu.
“hai’… wakarimashita” jawab Aiba sembari membungkuk-bungkuk.
Sebenarnya sudah lama sekali Aiba tidak suka dengan pekerjaannya yang ia rasa terlalu monoton dan terus menerus mengharuskannya bangun pagi padahal ia susah sekali bangun pagi. Keberadaan dari Satoshi Ohno, atasan Aiba yang entah mengapa suka sekali memarahinya, membuat keadaan menjadi terasa lebih buruk bagi Aiba.
Aiba selalu berharap dapat keluar dari situasi ini, berharap mendapatkan pekerjaan yang lebih menantang dan menarik. Berharap tidak perlu lagi bertemu dengan Ohno seumur hidupnya. Dan berharap dapat mendapatkan hidup yang layak tanpa harus dituntut untuk bangun pagi setiap hari.
Petang itu, Aiba pulang kantor dengan agak lemas. Tadi siang ia tidak diberi kesempatan untuk istirahat makan siang karena ia datang terlambat ke kantor dan harus menyelesaikan beberapa pekerjaannya yang jadi terbengkalai. Karena itu, sekarang sebelum pulang, Aiba menyempatkan diri pergi ke sebuah restoran pinggir jalan untuk membeli dua kotak bento. Satu untuk sore ini dan satu lagi untuk nanti malam, karena pasti ia akan kelaparan lagi.
Di tengah jalan menuju pulang, Aiba menyempatkan diri untuk merenung di atas sebuah jembatan, mencoba menyegarkan pikirannya yang penat karena kerja seharian sembari meratapi hidupnya yang entah mengapa selalu saja merasa kesepian karena tidak pernah berhasil mendapatkan kekasih meskipun umurnya sudah lebih dari seperempat abad.
Ia duduk di sebuah kursi di dekat jembatan, lalu mulai membuka bento yang ia beli.
“mungkin enak ya… Bisa menghabiskan merasakan hidup di alam yang bebas dan bahagia bersama orang yang kau cintai… haaaaaahhh…” gumam Aiba pelan sembari menerawang memandang kosong makanan yang ada di bento yang ia pangku.
Aiba tersadar dari lamunannya ketika ia merasakan kursinya sedikit bergerak. Rupanya baru saja ada orang yang duduk di sebelahnya. Seorang kakek tua berpakaian lusuh, terlihat agak pucat dengan kedua tangan memegangi perutnya. Entah mengapa, karena merasa iba dengan keadaan kakek itu, Aiba tergelitik untuk bertanya.
“Kakek, apa anda tidak apa-apa?” tanya Aiba sambil memandang ramah pria tua berbaju putih kecokelatan di sampingnya.
“Apa aku boleh minta sisa makananmu, anak muda?” kata sang Kakek sambil memandangi bento yang dipangku Aiba.
“eh?” Aiba bingung karena mendapat pertanyaan yang tiba-tiba seperti itu.
“aku lapar, sudah beberapa hari tidak makan” kata sang Kakek sembari memegangi perutnya sendiri, membuat Aiba menjadi mengerti penyebab sang Kakek terlihat begitu pucat.
“astaga… Kakek, sudah beberapa hari tidak makan? Uhm… Ini, silahkan ambil bentoku yang baru saja… Jangan makan sisa makananku” kata Aiba dengan tanpa ragu menyodorkan sekotak bento baru yang rencananya akan ia jadikan makan malamnya.
“ini… Untuk saya, anak muda?” tanya sang Kakek, sedikit tidak percaya.
“un~ Makanlah... Itu untuk Kakek” kata Aiba sambil tersenyum.
“arigatouuuu… Kau anak muda yang baik sekali…” kata sang Kakek sembari menepuk pundak Aiba lalu mulai membuka bento yang baru diberikan Aiba dan sesaat kemudian memakannya dengan lahap.
Aiba memandang Kakek itu dengan senyuman, terasa ada rasa syukur di hatinya melihat hal itu. Walaupun ia tidak memiliki pekerjaan yang bagus dan memiliki atasan yang menyebalkan, tapi ia bersyukur bahwa ternyata ia lebih beruntung daripada Kakek yang ada di hadapannya ini. Setidaknya, seburuk-buruk nasibnya sekarang, ia masih punya cukup uang untuk kebutuhan hidupnya sehari-hari. Aiba memperhatikan sang Kakek sembari menyelesaikan makannya dan menunggu baru berpamitan setelah melihat sang Kakek selesai makan…
“baiklah, Kakek… Saya permisi dulu…” kata Aiba yang kemudian berdiri dari tempat duduknya, bermaksud pergi meninggalkan tempat itu.
“tunggu sebentar, anak muda!” kata sang Kakek sambil meraih pergelangan tangan Aiba, membuat Aiba terduduk lagi.
“iya?” tanya Aiba, memandangi sang Kakek dengan kedua matanya yang polos sambil tersenyum ramah.
Sang Kakek terlihat meletakkan kotak bento di bagian kursi kosong yang ada di belakangnya, lalu mulai mengorek-ngorek kantung celananya. Tak lama kemudian, Aiba dapat melihat sebuah kalung, berbahan entah platina atau emas putih, diletakkan oleh sang Kakek di telapak tangan Aiba.
“eh? Maaf, ini apa ya?” tanya Aiba dengan pandangan mata ke arah kalung berbandul berbentuk lonjong dengan lubang ditengahnya.
“infinity…” kata sang Kakek.
“apa?” tanya Aiba bingung.
“kau akan mengerti nanti, ketika menemukan pasangan dari kalung ini, anak muda…” kata sang Kakek yang kemudian berdiri.
“pasangan dari kalung ini? Jadi, yang seperti ini ada dua?” tanya Aiba yang dijawab oleh sang Kakek dengan anggukan.
“iya, dan ada satu orang di luar sana yang juga memakai kalung seperti ini. Dia adalah pasangan hidupmu” kata sang Kakek.
“benarkah? Wow..!” seru Aiba bersemangat.
“pakailah kalung ini, suatu saat, kau akan menemukan seseorang yang akan menjadi teman hidupmu dan membahagiakanmu, selamanya!” kata sang Kakek yakin sembari berdiri dari tempat duduknya lalu memakaikan kalung itu di leher Aiba.
“Waaahhh… terima kasih banyak, Kakek…” kata Aiba sembari memandangi bandul kalungnya yang terlihat berkilauan.
“jaga dirimu baik-baik anak muda...” kata sang Kakek sambil menepuk pundak Aiba dengan senyuman diwajahnya.
“jaga diri? Un~ terima kasih, Kakek...” jawab Aiba dengan ekspresi agak bingung tetapi kemudian ia hanya tersenyum ramah dan kembali memandangi kalungnya.
“eh, tapi… Kakek… Kira-kira aku bisa menemukan pasangan kalung ini dimana ya?” tanya Aiba tapi tak ada jawaban.
“Kakek?”
Aiba kemudian mengalihkan pandangannya dari kalung untuk melihat sang Kakek lagi, namun ternyata sang Kakek sudah tak terlihat lagi. Sang Kakek menghilang dalam sekejap, membuat Aiba menjadi terkejut.
“Eh? hilang? Uwah.... Hantu-kah? Ahh… Muri-muri… Kalung ini nyata! Kakek tadi pasti hanya sudah pergi... Iya, khan? Yah, baiklah, terima kasih Kakek...” gumam Aiba berusaha berpikir positif, sembari memegangi kalung yang melingkar di lehernya.
Malam itu di rumah Aiba…
Suasana terasa begitu dingin karena hujan deras mulai turun tak lama setelah Aiba sampai di rumahnya. Kini sudah beberapa jam sejak hujan mulai turun dan tetapi hingga detik ini petir masih menyambar-nyambar, membuat listrik rumah Aiba padam dan membuat Aiba praktis tak dapat melakukan apa-apa selain meringkuk di tempat tidurnya sambil meminum segelas minuman sereal, di bawah selimut tebal sembari memandangi lilin yang menyala dihadapannya.
Ia sungguh sudah begitu kelaparan tetapi sayangnya tak ada makanan yang bisa ia makan karena tadi ia memberikan bentonya pada kakek tua. Ia juga tidak dapat keluar rumah untuk membeli makanan, karena hujan masih begitu deras.
Inilah resiko hidup sendirian. Sejak kecil Aiba tak pernah mengenal orang tuanya karena mereka meninggal sebelum Aiba cukup dewasa untuk mengenal mereka. Aiba tumbuh besar dalam asuhan neneknya dan baru beberapa tahun lalu neneknya meninggalkannya untuk selama-lamanya, karena itu, praktis sejak lima tahun yang lalu, Aiba harus berjuang untuk bertahan hidup.
“Hujan... Cepatlah berhenti... Aku lapaaaaaaaarrr… Huhuhuhu…” kata Aiba sembari menyeruput minuman serealnya.
BLLLAAARRRR!!
Sebuah petir yang sangat besar terdengar menyambar sesuatu, membuat Aiba sedikit terperanjat kaget. Tapi entah mengapa setelah itu, hujan jadi berangsur-angsur berhenti dan listrik rumah Aiba langsung menyala lagi.
“Eh? Yokattaaaaaa~” kata Aiba buru-buru bangun dari tempat tidurnya lalu mengambil baju hangatnya untuk segera keluar rumah mencari makan malam.
DUG!
Aiba merasakan pintu rumahnya terganjal sesuatu ketika ia ingin membukanya.
“huh?” tanya Aiba bingung.
Aiba kemudian berusaha mendorong pintu rumahnya pelan-pelan agar dapat terbuka dan mendorong suatu yang mengganjal pintu rumahnya itu.
“EEEEHHHH??!!” kata Aiba setengah berteriak begitu berhasil keluar dari rumahnya dan melihat bahwa sesuatu yang mengganjal pintu masuk rumahnya itu adalah sebuah tubuh seseorang. Seorang pria yang basah kuyup dan berjubah hitam sedang pingsan di depan pintu rumahnya. Hah? Berjubah hitam??